“Hidup ini tidak ubahnya suatu paradoks, suatu pertentangan besar. Dan mungkin itulah satu-satunya yang membuat hidup ini seimbang. Karena ketika ada terang, dulunya disitu ada gelap. Atau setidaknya disekeliling terang itu ada gelap.”
Kemudian Pak Andre, demikian kami para mahasiswa memanggilnya, duduk dan mulai mengundang semua yang hadir di kelasnya untuk mengeluarkan pendapat.
Pak Andre adalah dosen Filsafat Umum di fakultas-ku. Selama beberapa tahun aku ingin mendalami ilmu sosial, baru kali ini aku benar-benar duduk dan mendengarkan seseorang, membahas tentang filsafat di kelas. Kelas ini nilainya 2 SKS pula, lumayan juga.
Oiya, namaku Abram, orang Jawa, yang memegang teguh budaya Eropa. Hahaha, aku meminjam istilah ini dari mas Dodit Mulyanto yang sering aku lihat videonya di YouTube. Tetapi memang benar, aku orang Jawa, tetapi di rumah kedua orangtua ku tidak pernah mengajari sedikitpun tentang budaya Jawa. Bahkan pengetahuan tentang bahasa Jawa hanya kudapatkan dari Wikipedia. Iya, waktu SMA guru Bahasa Indonesia meminta satu tulisan yang membandingkan bahasa nasional dengan salah satu bahasa daerah. Yah, mungkin saja orangtua ku adalah JaMur, maksudnya JAwa MURtad. Aku hanya bisa menertawakan hidupku yang tak berbudaya ini.
Satu-satunya budaya yang kukenal adalah budaya media. Benar, selama ini pengajarku adalah televisi, majalah, dan internet.