(Cerita ini kelihatannya ditulis bareng sama seorang teman di Singapura, hahaha.. Selamat membaca.)
Dua hari lalu, satu orang di kos-ku menitipkan kunci kamarnya kepadaku. Ia berkata bahwa ia akan pergi jauh, dan kuatir kalau keluarganya datang, mereka akan kesulitan masuk ke kamarnya. Sebenarnya, aku tidak kenal siapa dia. Kami hanya saling mengenal sebagai sesama anak kos, tidak mau tahu kehidupan masing-masing. Jadi aku heran ketika dia menitipkan kuncinya kepadaku.
“Kenapa nggak ke orang di kamar sebelahmu?” tanyaku, mencoba untuk tidak dibebani dengan satu lagi tanggung jawab.
“Mereka selalu tidak ada di rumah, kau orang yang jarang keluar.” Jawabnya singkat.
Akhirnya aku iyakan saja, toh hanya kunci, tanggung jawab yang remeh. Tidak remeh ternyata, kemarin orang kos-ku itu, yang digambarkan oleh teman-temannya sebagai seorang yang periang dan bermasa depan cerah ditemukan di tepi jalan raya, di dalam mobilnya. Ia meninggal, dengan peluru bersarang di kepalanya dan sebuah pistol rakitan tergeletak di jok samping. Polisi menduganya bunuh diri, apalagi mereka juga menemukan secarik kertas bertuliskan:
Kali ini, aku berusaha untuk diam saja. Kukatupkan bibirku erat-erat, bibirku bergetar. Sampai aku merasakan darah, ya tanpa sadar aku telah menggigit bibirku sendiri. Inikah rasanya ketika tenggelam dalam kepedihan?
Aku berusaha untuk tersenyum. Senyum paling pahit yang pernah kupaksakan.
Senyum karena ku tahu ini adalah akhir dari hubungan ini. Tidak ada pertanyaan, tidak perlu kuketahui apa alasannya, itu tidak akan mengubah apa-apa.Senyum karena sebelum kau mengatakan kalimat itu, aku telah berpikir hari ini pasti akan segera tiba. Semua usaha yang kita lakukan, seluruh waktu itu, sesungguhnya adalah sia-sia.
Senyum karena aku tahu, inilah yang terbaik, bukan hanya untukmu, tetapi juga untukku. Kita tidak sepadan. Mungkin aku hanya terlalu keras kepala untuk menyadarinya.
Terimakasih karena mengakhiri semua kesakitan ini.
Siang ini lagi-lagi aku harus meninggalkan kamarku untuk satu hal yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya. I hate this! This is completely out of my plan! Ya, siang ini aku diperiksa sebagai saksi di Polda Metro. Mereka tanya hubunganku dengan dia, kenapa aku bisa pegang kunci itu, apa pembicaraanku terakhir kali dengan dia, siapa saja yang pernah masuk ke kamarnya, apa dia menunjukkan tingkah laku yang mencurigakan sebelumnya. Semua pertanyaan bodoh yang aku harus jawab, sementara aku tidak mengenal dia, tidak tahu, dan tidak mau tahu. Tapi sekarang disini aku duduk, di hadapan seorang petugas polisi dengan kemeja merah marun dan dasi hitam. Laki-laki separuh baya dengan kumis lebat di atas bibirnya. Satu setengah jam aku harus menghadapi dia.
“Rokok?” Tanyanya kepadaku.
“Terimakasih, saya tidak merokok.” Jawabku singkat.
Tanpa menanyakan persetujuanku, dia membuka satu pak Marlboro yang masih baru, dan mengeluarkan satu batang rokok dari dalamnya. Dia mengendusnya sebentar, sebelum akhirnya menyalakannya. Dijepitnya rokok itu dengan bibirnya yang berwarna ungu pucat dan dihisapnya kuat-kuat. Ia menghembuskan asap rokok itu ke udara, ke arah langit-langit dengan mata terpejam, Nampak ada kepuasan ketika dia melakukan semua itu.
Melihat tingkahnya ini, aku tiba-tiba teringat ayahku. Ayahku juga seorang perokok. Suatu saat ketika aku masih kecil, aku ingat ayah juga melakukan hal yang nyaris sama dengan pria di depanku ini. Aku bertanya apakah merokok itu begitu menyenangkan? Apakah ia menemukan kegembiraan ketika menghisap batangan-batangan rokok itu? Apakah kebebasan? Pokoknya segala pertanyaan yang terlalu maju bagi anak seumur aku waktu itu.
Ayahku menjawabku, dengan jawaban yang sangat imaginatif. Hidup itu katanya, seperti rokok. Api yang membakar, ibarat penanda waktu umur kita.
“Saat kau menghisap kuat, maka semakin cepat rokok itu habis. Tapi kalau kau biarkan begitu saja, pada akhirnya rokok itu juga habis.” Demikian ayahku berkata.
“Intinya, apakah kau mau mengorbankan umurmu untuk suatu katakanlah kesenangan atau kau biarkan begitu saja terbakar, lalu habis sendiri.” Lanjutnya.
Saat itu, aku tidak tahu apa maksud kata-katanya.
Kemudian aku bertemu dengan kekasih pertamaku, Patricia. Seorang mahasiswi dengan tingkat intelegensia jauh lebih tinggi daripada aku, ambisius, dan tekun. Kekurangannya adalah ia seorang perokok, yang dianggapnya sebagi suatu kelebihan. Aku masih ingat kata-katanya,
“Saat aku merokok, aku memasukkan sedikit racun ke dalam tubuhku. Racun ini, akan menghambat pertumbuhan sel-sel dalam tubuhku, dan membuat penampilanku sama seperti ini.”
Suatu alasan yang menurutku tak masuk akal.
Aku benci kebiasaannya merokok, namun aku tak berdaya dihadapannya. Dia begitu dominan dalam hubungan kami. Bahkan sebenarnya dia yang pertama kali mengajakku berkencan. Ya, aku nggak bohong. Dia yang pertama kali mengajakku ke kafe dan dengan entengnya, se-enteng hembusan asap rokoknya ke mukaku saat itu, dia berkata,
“Pacaran yuk..!”
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku hanya bisa menganggukkan kepala saat itu. Dan malam yang sama, ya malam yang sama aku kehilangan keperjakaanku. Huh, saat itulah aku kehilangan kontrol akan diriku. Aku mulai menghabiskan waktu-waktuku bersamanya 24-7 (baca: twenty-four-seven), dimana ada dia, disanalah aku. Minuman keras, drugs, rokok, ya saat itu I’m totally losing grip. Tiga bulan, livin’ a wild life in every corner of city with her. tepat di tanggal yang sama kita jadi “pasangan”, tiga bulan kemudian dia menulis surat “cinta” untukku.
Dear my beloved baby,
Makasih ya buat 3 bulan yang udah kamu kasih buat aku. Banyak hal yang aku pengen kasi tau, tapi aku nggak mau buat kamu ‘sakit’ terlalu lama. Aku udah beresin Thesis-ku tentang “experimental living in Indonesia” dan kamu subjek penelitianku yang paling luar biasa. Makasih buat semuanya, thesis ini nggak mungkin jadi tanpa kamu. Sekarang aku musti balik ke Hawaii buat finalize thesis ini. Till we meet again.. Someday..”
Love,
Pat
Dunia gelap saat aku membaca surat itu. Lututku lemas, aku terduduk diam di kamar yang kita kontrak untuk hidup bareng selama ini. Aku tinggalin kuliahku untuk dia, dan sekarang aku menghadapi pahitnya kenyataan kalau aku nggak lebih dari “tikus laboratorium”. Harga diriku hancur. Dan aku teringat kata ayahku. Ya, aku sadar bahwa hidupku pasti akan habis, entah aku “hisap kuat-kuat” atau “biarkan saja”, toh semua akan habis. I have nothing to lose!!!
Aku berdiri, kutinggalkan kamar laknat itu, kembali ke kuliah, menyelesaikan semester-semester yang tersisa, dan meraih gelar arsitek. Ya, sekarang aku bekerja di sebuah biro arsitek terkenal di Jakarta. Dan dihadapanku sekarang, seorang polisi, yang tak ubah penampilannya seperti mandor bangunan, yang melihat buruhnya tertangkap tangan beristirahat di luar jam makan siang.
Dan dia kembali menghembuskan asap rokoknya ke atas, sebelum bertanya kepadaku:
“Seberapa dekat hubungan saudara dengan korban?”
Korban? Tepatkah deskripsi itu? Bukankah dia bunuh diri, seharusnya dia juga pelaku. Pelaku merangkap korban.
“Tidak seberapa dekat, hanya kenal sebatas teman satu kos saja.” Kataku jujur.
“Hanya teman satu kos? Tapi kok bisa kunci kamarnya dititipkan ke saudara?” Tanyanya.
Aku tersenyum pahit, lalu kujelaskan kepada polisi itu bagaimana si ‘korban’ (Ah aku harus membiasakan diri memakai istilah ini) memberikan kunci kepadaku. Polisi itu diam saja, tidak berkomentar terhadap ceritaku. Nampaknya dia juga tidak mendesak lebih jauh.
“Saudara tahu, kalau-kalau belakangan ini si mati ini ada memiliki masalah? Pernah ia menceritakan apa-apa tentang dirinya, yah terutama masalah kepada saudara?”
Si mati? Ah ganti pula sebutannya, bagaimana sih? Konsistenlah Pak! Kataku dalam hati.
“Sudah saya katakan, saya tidak dekat dengan si mati.” Jawabku. Kini aku juga menyebutnya si mati. Apakah korban ini atau si mati ini tidak punya nama?
(to be continued)