“Siapa tu cewe?” Tanyaku kepada penghuni kos yang sudah mungkin 2 tahun sebelum aku tinggal di kosan menengah keatas itu. Penghuni kos itu malahan menjawab dengan pertanyaan balik,

“Yang suka pake contact lens warna ijo itu kan? Oh, itu si Nisa, kerja di deket sini keliatannya dia bagian keuangan deh.”

“Darimana lo tau?”

“Lah kan saya udah lebih lama dari kamu di sini, dodol…,” jawab teman kosku itu yang kelihatannya adalah orang Sunda karena di kos dia sering dipanggil Ujang.

“Udah punya cowo dia, anak kantoran juga keliatannya, tiap sore biasanya mampir cowonya. Suka kamu ama cewe itu?” Dia melanjutkan penjelasannya, tetapi diakhiri dengan pertanyaan yang bikin saya belingsatan, setidaknya di dalam hati.

“Ah, nggak, lucu aja, matanya jadi kaya aneh gara-gara contact lens warna-warninya,” saya berusaha menetralkan diri dan mencari jawaban sekenanya.

“Hahaha… suka mah suka aja, tapi saya denger udah mo kawin dia. Perasaan kamu, jangan ngalahin akal kamu, yaa,” sambil berkata itu Ujang pergi begitu saja, kembali ke kamar, meninggalkan percakapan singkat kami di teras depan kosan yang sangat sepi malam itu.

Saya tidak mengerti, mengapa saya tertarik dengan Nisa, yang belum kukenal, belum juga saling tahu. Oh, tapi bisa jadi dia tahu keberadaanku, waktu itu ketika akan berangkat untuk presentasi di salah satu perusahaan dekat kosan, mata kami bertemu, sejenak saja, sebelum dia kemudian berusaha membuka pintu kamarnya, dan saya, mengunci pintu kamar saya.

Diam-diam saya panggil dia “babe” dalam hati. Hahaha, cowo murahan banget saya ini.

“I love my babe, banget!”

I wish I could show you my love for you. You are so beautiful, but you are a stranger to me. Mengerti bahwa banyak keadaan dan latar belakang antara kami berdua yang tidak memungkinkan untuk bersama. Istilah kalau di roman picisan: “kondisi ini bukan salahmu, dan bukan salahku, cuma keadaan saja yang tidak memungkinkan. Tetapi setelah saya berpikir lagi, harusnya bukan keadaan yang disalahkan.” Saya tidak mungkin selalu menyalahkan keadaan, karena itu variabel yang tidak bisa saya kontrol. Sedangkan ada variabel lain yang jelas-jelas bisa saya kendalikan: Pilihan-pilihan saya.

Saya memilih bahwa itu bukan dia.

Tapi tidak tahu kenapa kami berdua jadi lebih sering bertemu. Suatu ketika kami tidak sengaja bertemu di lobby lantai dasar gedung kantor tempat kami bekerja.

“Hey kamu,” siang itu saya beranikan untuk menyapa “this beautiful stranger”.

“Hey…” dia berhenti sejenak mencoba mengingat, mulutnya terbuka sedikit sembari ada lengkungan senyum tipis di sudut bibirnya. “Kamu yang di kosan kan?”

“Ahahaha.. iya, sering liat kamu tapi nggak tau nama.”

“Ngapain di sini?”

“Kerja lah, masa jualan sayur,” guyonan zaman-old yang masih aja keluar spontan dari mulut saya.

“Hihihi.. lucu..,” ketawa kecil yang beberapa tahun ke depan akan selalu saya ingat sebagai “milik dia”.

“Ummm.. tukeran nomer yok, ada WhatsApp kan? Ini kartu nama saya,” langsung saja saya sodorkan kartu nama kebanggaan perusahaan saya yang didominasi warna merah.

“Aduh, aku nggak bawa kartu nama, ditulis aja ya di belakang kartu ini.”

“Nah loh, kan kartu ini buat kamu.”

“Oh iya.. tapi nggak pa-pa, nanti kamu kirim message aja duluan, pasti aku bales.”

“Okay, fair enough.”

“Text me ya. Sorry musti buru-buru. Bye.”

“I will. Bye for now.”

Kami berjalan ke arah yang berbeda, saya kembali ke kosan karena akan mengambil sesuatu, sementara dia pergi entah kemana, janjian makan siang mungkin dengan orang lain.

Sepanjang hari itu tidak ada yang penting terjadi, selain presentasi product sponsorship yang tidak terlalu berhasil menurut saya. Tetapi saya baru ingat kalau besok saya ada tugas kantor di Surabaya. Tiket sudah dibeli, cuma belum beres-beres baju saja.

Pagi itu saya ambil penerbangan cukup pagi untuk ke Surabaya, jadi sudah sampai kantor sebelum jam masuk, Pk.07.30 kalau tidak salah.

“What should I do?” Saya bicara kepada diri saya sendiri di kantor sendirian pagi itu. AC kantor begitu dingin, dan cuma suara angin AC saja yang terdengar. Biasanya di kantor Surabaya ada bagian keuangan yang getol banget dengerin 89.7FM. Tapi ini belum jam kantor, belum ada seorangpun yang kelihatan. Kecuali Ibu Yati, pembantu umum kantor yang selalu menawarkan kopi hitam panas di pagi hari.

“Ahhh… Nisa,” tiba-tiba teringat nama itu lagi.

Saya berusaha mencari dimana kartu dengan nomor dia itu saya simpan. Akhirnya dapat juga di dompet saya di antara nota-nota pembelian yang tidak jelas. Segera saja saya masukkan nomornya, dan berharap muncul ikon WhatsApp message secepatnya.

“Yes!” pekik singkat kegirangan karena betul nomor itu bisa dihubungi via WA message.

Tetapi seketika itu juga kegirangan saya jadi begitu mellow, teringat apa yang dilakukan ibu dahulu kepada ayah.

Iya saya adalah produk dari keluarga yang harus terpecah karena perceraian. Ibu saya adalah orang yang begitu hangat, dan terbuka. Ia adalah pengendali pesta! Dia bisa membuat suatu pertemuan menjadi meriah hanya dengan satu dua kalimat atau ide yang dia ucapkan begitu saja.

Ayah, beliau seorang yang juga hangat, tetapi tertutup. Rapih, klimis, wangi, itu yang selalu saya ingat dari beliau. Namun sekarang ayah berbeda, dia jadi orang yang dingin, ketus, dan selalu murung sejak ibu pergi. Kepercayaannya selama ini bahwa segala sesuatu selalu ada dalam kendalinya sekarang berubah. Ia tidak bisa mengendalikan emosinya. Mungkin karena hak asuh kami (saya dan adik perempuan saya) jatuh ke tangan ayah, beliau kemudian berusaha mengendalikan diri sedemikian rupa. Tetapi ayah bukan seperti ayahku yang dulu. 

“Hei Nisa. Ini saya orang aneh di kosan yang sering liatin kamu. Kita ketemu kemarin di lobby BRI Tower.” Setelah sent, cepat sekali pesan itu dibaca, dan di kedipan mata berikutnya sudah masuk pesan di HP saya.

“Hey kamu.. Hahaha.. kamu Dito kan.. 😊” Dia balasnya cepat sekali, kataku dalam hati, dan dia tahu namaku!

“Kok tau sih… kemarin pas udah pisah baru inget belum kenalan nama. Mata ijomu membuyarkan konsentrasiku, wakakak..”

“Hihihihihi…” dia membalas itu saja. So cheeky!

“Hey Nisa, tau namaku dari siapa? Eh btw lg sibuk nggak?”

“Kemaren di kosan nanya ama si Ujang, kebeneran dia lagi sendirian di depan kosan kemarin pas saya pulang kantor. Ummm.. lagi off sih hari ini. Sick leave bilangnya, padahal males ngantor, hihihi…”

Berlanjutlah percakapan dengan Nisa hari itu sampai jam kantor dimulai, dan ruang kantor mulai dipenuhi rekan-rekan yang berdatangan. Tetapi rasanya chat itu punya magnet sedemikian rupa. I can’t get over it. Sementara di seberang sana, Nisa juga selalu responsif dengan segala macam pembicaraan, dan dia gampang sekali dihibur. Misalnya waktu saya cerita tentang teman kantor saya yang suka nonton film dewasa di kantor, padahal umur teman kantor saya itu jauh lebih tua dari saya. Dia tertawa ngakak di lebih tiga baris WA message.

“Hihihihihihiihihi…”

“Wakakakakakak…”

“Hahahahahahaha… ngakak guling-guling.”

Dalam hati saya nih orang gemesin banget ya. Tanpa banyak pikir saya langsung bilang todong saja.

“Nisa video call yuk!”

“Yukkkkssss!!!” balasnya dengan cepat. Sekarang saya yang deg-degan. How do I look, I am in my messy look now, I didn’t sleep well last night! Tapi ah masa bodoh. Segera saya video call dia dari kantor, kebetulan saat itu akan masuk waktu break makan siang.

Kita ngobrol dan saya bisa liatin mata dia, yang jadi “perangkap” buat perhatian saya. Saya tunjukkan dia isi kantor di Surabaya, dan bahkan saya “ajak” dia video call sambil makan siang, hahaha. Weird me.

Mulai dari hari itu kami berkomunikasi begitu intensif, dia mulai berani bilang pengen ketemu langsung dan itu bikin saya senang sekali. Tapi saya ingat, dia tidak lagi sendirian. Dito yang menyedihkan!

Suatu hari kita janjian ketemu dan dari siang sampai sore entah bagaimana caranya dia bisa temani saya, ke seluruh penjuru Bandung, untuk urusan pribadi dan urusan kantor. Dia tenang saja nungguin sambil pegang HP, kadang sambil duduk di kursi tamu sambil melihat saya di seberang ruangan. Berasa nggak sendirian. I love this feeling.

So, I’m foolin’ around with her. Ketika waktunya makan siang, kami pegangan tangan di atas meja. Ketika di escalator saya cium rambut kepalanya. Feels so good! The only problem lurking is her relationship. And on the way back inside the taxi, I brave myself to ask her about this

“Kamu lagi deket ama siapa?” Stupid question, the minions yang mengendalikan otak saya rasanya berteriak itu di dalam kepala saya. Saya sudah tahu ini, dan Ujang jelas bilang dia akan menikah! Tapi betapa kagetnya saya ketika dia tersenyum tipis sambil berkata lemah.

“Sama kamu lah.” Deg! Rasanya jantung saya ada yang gedor dengan keras.

“Nisa… maksudnya apa kamu ada hubungan dengan seseorang lain sebelum ketemu saya?”

“Kenapa sih musti bahas yang beginian.” Dia terdiam sambil melihat keluar jendela.

Sorry.. kalo kamu emang terganggu, I didn’t mean that.”

Selama 5 menit kedepan, di tengah kemacetan Bandung, it was a complete silence. It’s awkward. Untuk memecah kebuntuan ini saya berusaha minta maaf lagi, karena memang saya yang memulai obrolan ini kan.

“Nisa sorr…” belum sempat saya menyelesaikan kalimat, out-of-nowhere Nisa menjawab keingintahuan saya.

“Namanya Ardi. Dia kerja di bidang konstruksi. Kalau kamu lihat beberapa Gedung yang lagi dibangun di Bandung. Itu proyek perusahaan dia. A busy, rich man.”

“Aku tunangan ama dia, tapi nggak tau deh, aku mau lanjutin ato nggak.”

“Kenapa?” Tanyaku, berusaha tenang, padahal di dalam sudah mirip anak gunung Krakatau, rolling and boiling!

“Karena kamu, mungkin.” What! The minions di otak saya berhamburan kesana kemari, saya agak nggak percaya.

“Bukannya kita baru deket sehari ini, I mean, kalo pun diitung ama chat paling nggak sampe seminggu. Kok saya sih?”

“Nggak ngerti Dito, dari waktu kamu masuk kosan, saya tau kok kamu liatin saya. Anehnya saya nggak ngerasa risih. Saya tau kamu berusaha cuek, dan cuma curi-curi pandang aja, tapi inget nggak waktu kita liat-liatan sebelum saya masuk kamar?”

Saya nggak tahu gimana tapi rasanya muka saya memerah, malu rasanya, tapi saya musti mempertahankan ego ke-cowo-an saya kan? 

“Errrr… ketangkap basah ya.” Saya semakin kikuk. “Tapi emang kamu attractive sih, Nisa.” Sebisa mungkin emosi saya netralkan.