Ini adalah isu yang sensitif dan harus dilihat dari berbagai perspektif, untuk kemudian menentukan sikap yang jelas. Saya tidak mau Anda membaca ini dan kemudian segera mencaci gerakan LGBTQ. Demikian juga saya ingin memperjelas bahwa gerakan ini sebenarnya adalah fenomena budaya yang dipengaruhi hal-hal intelektual, moral, sosial, emosional dan spiritual.

LGBTQ adalah singkatan dari Lesbian – Gay – Bisexual – Transgender – Queer. Ini merupakan sebuah gerakan yang mengagungkan kemerdekaan seseorang dalam menentukan preferensi seksual dan preferensi gendernya. Kalau kita lihat itu adalah kumpulan sebutan untuk orang-orang yang memiliki preferensi seksual dan gender di luar konsep biner (tentunya dalam konteks seksual dan gender pula). Maksudnya konsep biner adalah, hanya ada pria dan wanita, sehingga hubungan seksual, dan yang berkaitan dengan itu seksualitas tentunya adalah antara pria dan wanita.

“Lesbian” adalah sebutan untuk wanita yang mencintai atau merasa rangsangan seksual dari sesama jenisnya. “Gay” tidak ada dalam daftar istilah Bahasa Indonesia, tetapi jika dilihat dari definisi padanannya adalah sebutan untuk pria yang mencintai atau merasa rangsangan seksual dari sesama jenisnya. “Bisexual”, di-indonesia-kan “biseksual”, adalah seseorang yang tertarik terhadap kedua jenis kelamin, pria dan wanita. “Transgender”, dalam bahasa Indonesia mungkin lebih dekat dengan istilah “banci”, adalah orang yang merasa bahwa identitas seksualnya bukanlah identitas seksual yang diberikan kepada dirinya saat lahir dan dalam masa perkembangan, ia merasa preferensi seksualnya juga tidak harus sesuai dengan konsep biner. “Queer” adalah istilah politis di dunia barat, untuk menjelaskan konsep fluiditas gender, dan preferensi seksual, bahwa konsep biner dalam gender dan seksualitas adalah konsep “lama” yang harus ditinggalkan.

Pandangan Kekristenan secara umum adalah menolak gerakan ini. Demikian juga kalau tidak salah dalam beberapa pandangan budaya yang dasarnya relijius. Selanjutnya kita akan membahas mengapa ini penting dan bagaimana sebaiknya kita menyikapi gerakan ini. Karena saya dibesarkan secara Kristen dan meyakini nilai-nilai Kristen. Nanti saya akan memberi pandangan berdasar pengaruh Kekristenan. Tetapi penting untuk digarisbawahi bahwa penolakan ini adalah kepada motivasi yang mendorong munculnya gerakan ini, dan bukan penolakan pada pribadi-pribadi yang mengidentifikasi dirinya dengan gerakan ini untuk berintegrasi dengan masyarakat, dan berdiskusi mengenai konsep ini. Menurut saya kalau kita menolak mereka, sama saja kita menolak untuk hidup di dunia. Karena dunia ini berisi orang-orang yang tidak sempurna, sama seperti semua kita. Hanya saja penting untuk kita kemudian memakai “penggaris” yang sama, supaya apa yang kita ukurkan kepada orang lain, itu juga harusnya bisa diukurkan kepada kita juga.

Beberapa waktu lalu ada yang menanyakan tanggapan saya tentang LGBTQ dari sisi keilmuan. Meskipun saya belum sempat mengumpulkan referensi untuk mendukung pernyataan-pernyataan saya tetapi kira-kira seperti ini respon jika kita melihat dari pandangan keilmuan.

Setahu saya dulu homoseksualitas dan transgender di dalam Psikologi dimasukkan dalam kategori perilaku yang menyimpang. Namun karena perubahan zaman dan semakin tingginya perhatian terhadap hak asasi manusia, maka perilaku ini semakin diterima. Apalagi setelah beberapa ilmuwan berusaha membuktikan bahwa homoseksualitas dan transgenderisme itu ada kaitanya dengan genetika. Maka penelitian-penelitian semacam ini dipakai sebagai justifikasi untuk menguatkan posisi homoseksualitas dan transgender sebagai salah satu hak asasi.

Gerakan-gerakan ini subur di dunia barat di era modern yang menonjolkan ilmu pengetahuan dan penalaran sebagai pusat kemanusiaan. Sehingga dunia psikologi di barat juga terpengaruh dan mengeluarkan homoseksualitas dan transgender dari bahasan perilaku menyimpang. Dunia psikologi di timur sendiri masih belum bisa menerima hal ini sepenuhnya karena sisi moralitas dan sebenarnya penelitian-penelitian mengenai homoseksualitas, trangender dan genetika belum punya dasar yang sangat kuat.

Dari segi mereka yang merasakan ketertarikan secara seksual dengan sejenis (homoseks) atau yang merasa jiwanya berada di tubuh yang salah, misalnya seseorang dengan organ seksual pria namun merasa jiwanya adalah wanita (transgender). Mereka ini sering merasa terkucilkan, dan sendirian, apalagi di dalam lingkungan keluarga atau masyarakat yang konservatif. Maka tekanan untuk memendam perasaan mereka ini begitu kuat. Kecenderungan masyarakat konservatif untuk berlaku reaktif dan punitif terhadap mereka juga sering menghasilkan trauma yang membuat kondisi kejiwaan mereka terganggu semakin parah.

Kalau dari segi psikologis masyarakat seperti yang saya bilang tadi masyarakat Indonesia basis keagamaannya kuat. Nilai-nilai agama adalah pembentuk nilai moral, dan pada akhirnya menjadi nilai pribadi yang ada dalam masyarakat. Secara mayoritas agama-agama yang ada di Indonesia menggolongkan perilaku homoseksualitas dan transgender sebagai dosa. Sehingga jelas masyarakat Indonesia yang agamis memberikan penolakan terhadap perilaku-perilaku yang sedemikian.

Hal ini sebenarnya pernah terjadi juga di Inggris. Bahkan di Inggris sudah pernah dimasukkan ke konstitusi mereka, dan bagi orang yang terindikasi homoseks dan transgender harus melakukan terapi hormon kalau tidak dipenjarakan. Salah satu korban dari penerapan hukuman ini adalah Alan Turing, pelopor teknologi komputer yang sekarang kita pakai. Tetapi setahu saya konstitusi ini sudah dirubah di 1970-an.

GodblesS
JEFF