Saat itu lampu masih temaram di batas senja dan tidak semua orang punya dorongan untuk keluar dari kabut sore itu. Hanya aku dan mungkin beberapa orang yang tidak mengerti apa yang harus kami lakukan, kami duduk diluar. Tak lama, aku pun memisahkan diri dari kelompok kecil itu dan mulai merenung dalam pikiranku, sangat dalam. Dan puisi itu pun semburat di tengah perenunganku sore itu. Kukeluarkan telepon pintarku dan mulai mengetikkan di aplikasi Note yang selama ini selalu menjadi mediaku menyimpan saling-silang pikiran-pikiranku.

Dan aku akan tetap disini..
Entah apa yang harusnya terjadi pada diriku. Aku kan menjadi selimut bagimu.
Menjalani langkahku yang seakan melayang, titian berikutnya aku tak mengerti.
Dengarkan musik itu, menarilah, menangislah, mengertilah.
Imagi menjadi nyata, khayal menjadi realita.

Aku, Doni, 21 tahun, hidup di sebuah kota yang dingin namun indah. Aku sering berkhayal untuk menjadi seseorang yang muncul di televisi. Menjadi terkenal dan dicintai banyak orang. Namun, semua khayalan itu tidak sebanding dengan khayalan yang satu ini. Aku berkhayal suatu saat bisa menikahi seseorang yang cantik, rupawan, seorang dengan kecantikan selebritis, namun hatinya tidak bengis. Kecantikan yang keluar dari karakternya, bukan sekedar make-up dan dandanannya. Dan khayalanku itu ada di seberang rumahku.

Vira, begitu yang aku tahu tentang sosok cantik jelita, setidaknya menurut pemandanganku, yang juga adalah tetanggaku itu. Saya tidak tahu banyak tentang dia, selain bahwa dia sangat suka dengan baju berwarna putih. Kaos, kemeja, dress, apa pun itu nampak sempurna bagi aku. Tetapi aku juga tahu bahwa seorang pria muda, yang kelihatannya sukses, karena mobil yang dia kendarai, selalu menyambangi Vira setiap hari.

“Tentu saja itu pacarnya bodoh!”

Kataku dalam hati. Tidak mungkin dia sales asuransi, apalagi tukang roti.

Memoriku kembali pada salah satu draf cerita pendek tentang situasi yang di-angan-ku kurang lebih seperti ini. “Bahkan sebelum ketemu aku, kamu sebenarnya sudah menetapkan hatimu pada dia. Aku kadang merasa seperti jeda iklan di sebuah acara TV terkenal. Yang datang dan pergi dalam hitungan detik sampai menit. Menyenangkan tapi juga menjengkelkan. Namun pada akhir acara, ini bukan acara iklan. Ada pertunjukkan utama yang akan selalu diingat orang. Sementara aku hanya datang dan akhirnya harus pergi, memberi bagian yang utama, yang diharapkan orang, yang ditunggu-tunggu, yang “resmi’, hadir bersama kamu.”

Semuanya dimulai lewat media sosial.

Gaya hidup sekarang memang begitu berbeda. Contohnya adalah perubahan gaya hidup di media sosial. Dahulu foto adalah sesuatu yang privat, yang hanya dipajang di album, dinding rumah, dan bagi beberapa orang bermuka “menarik” mereka akan dipajang di papan iklan, majalah, bahkan di bungkus sabun.

Tetapi sekarang foto bisa diaplikasikan dimanapun, selain di kaos sablonan, foto pribadi bisa diunggah dalam platform media sosial yang begitu banyak. Seseorang atau suatu organisasi berusaha menunjukkan eksistensinya dengan foto yang diunggah di media sosial. Foto menjadi komoditas, dan tentunya ini juga dibantu oleh kemajuan teknologi fotografi, komunikasi, dan industri. Sekarang setiap kali ada foto yang menarik, maka pikiran pertama bagi orang-orang adalah ini mau diunggah dimana?

Bagaimana Vira bisa seliweran di media sosialku pun sebenarnya masih jadi misteri bagiku. Sekarangpun ingatanku tidak bisa kembali menelisik detil peristiwa itu. Tetapi ini yang aku ingat, sejak kami bertukar pesan di media sosial, kami seperti menemukan tempat untuk saling bercerita.