1Petrus 2:19, 24.
Ayat-ayat ini dituliskan dalam konteks nasihat Petrus kepada orang percaya yang menjadi hamba (budak), bagi tuannya (biasanya orang tidak percaya), di abad pertama. Mereka akan menghadapi perlakuan yang mungkin baik dari tuannya. Atau sebaliknya, perlakuan yang mendatangkan penderitaan.
Argumen Petrus adalah, jika penderitaan itu datang saat orang percaya tersebut berbuat baik. Maka orang tersebut sebenarnya sedang merefleksikan teladan Yesus. IA menderita meskipun IA berbuat baik. Bahkan tidak ada kejahatan yang diperbuatNYA.
Jadi kesabaran yang ditunjukkan pengikut Kristus, adalah sikap yang layak diperbuat di hadapan Tuhan, sebagai produk dari kasih karuniaNYA. Hal ini akan diganjar dengan pahala oleh Allah sendiri.[1] Ingat perumpamaan orang yang berutang sepuluh ribu talenta? Matius 18:23-35. Tuntutan seseorang yang diberi belas kasihan adalah menunjukkan hal yang sama. Ayat 33.
Dari pembahasan konteks dari ayat-ayat utama kita ini saja, sebenarnya kita sudah bisa membawa satu poin untuk dijadikan bekal rohani kembali ke rumah kita masing-masing. Kalau saya percaya kepada salib Kristus sebagai kasih karunia yang seharusnya tidak layak saya dapatkan. Tuhan mengharapkan saya juga mencerminkan kasih karunia kepada sesama kita di rumah, lingkungan, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Namun saat ini saya ingin juga melihat kasih karunia ilahi ini sebagai kenaikan status, kenaikan tingkat, dimana seseorang mendapat dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Istilah dalam Bahasa Inggris yang mewakili ini adalah kata “upgrade”. Saya merenungkan ini ketika saya melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang.
Saya sudah memiliki beberapa pengalaman dengan menaiki mode angkutan massal yang satu ini, dan selalu itu di kelas ekonomi. Sampai sekarang saya adalah orang yang tidak pernah terbayang membeli tiket di kelas bisnis. Tetapi dalam dua kali kesempatan yang berturut-turut saya di-upgrade dari kelas ekonomi ke kelas bisnis.
Apakah karena saya mengenal “orang dalam”? Atau menikahi pemilik saham perusahaan Batik Air? Semua itu tidak relevan dengan saya. Satu-satunya jawaban yang saya tahu sampai sekarang adalah karena saya mengunduh aplikasi resmi “online check-in” dari grup penerbangan ini, dan menjadi orang pertama yang melakukan proses “online check-in”.
Dalam pembahasan mengenai memahami kasih karunia, saya pernah menyampaikan bahwa kasih karunia adalah pemberian yang mulia diberikan kepada seseorang yang tidak layak mendapatkannya. Yesus diberikan kepada kita, manusia yang sebenarnya tidak layak mendapatkan kemuliaan. Mazmur 8:5. Tapi Allah tetap memberikan Sang Kasih Karunia kepada kita.
Apa yang Yesus lakukan di kayu salib perlu dipahami sebagai bagian dari karya ilahi dari penciptaan sampai dengan kesudahan dunia. Jika kita membaginya menjadi tiga era dalam Peta Zaman yang didasarkan firman Tuhan, ada Zaman Bapa (dari Adam sampai Abraham), Zaman Anak (dari Ishak – anak Abraham, sampai Yesus – anak Allah), dan Zaman Roh/Zaman Gereja (dari kematian Yesus sampai kedatangan Yesus kali kedua, atau dari Gereja lahir sampai Gereja diangkat ke Surga).[2] Jadi kematian Yesus (karya salib) adalah karya ilahi yang diberikan sebagai kasih karunia bagi manusia.
Manfaatnya dapat dirasakan bahwa kita bebas dari dosa dan beroleh hidup kekal. Roma 6:22. Bukan sekadar hidup, namun hidup yang kekal. Yohanes 4:13-14. Kita juga perlu ingat Yesus bukan saja berkorban dan tinggal dalam kubur, tapi IA bangkit, dan kebangkitanNYA memberi jaminan akan kemuliaan yang diberikan bagi kita yang percaya. 1Korintus 15:42-43.
Poin penting inilah yang jadi kebanggaan kita. Salib bukan sesuatu yang hina sekarang. Karena IA yang disalibkan, membawa kasih karunia bagi kita. Hidup kekal bersamaNYA selama-lamanya. Yohanes 10:28. IA bangkit, dan kita akan bangkit bersamaNYA.
[1] Matthew Henry’s Concise Commentary (Updated) dalam aplikasi komputer Program SABDA 5 (2016). 1Petrus 2:18-25.
[2] Pdt. J.S. Minandar, “Eskatologi” (Mahanaim Publisher: Tegal, 2020), 15-16. Google Books.

Leave a comment