MENGATASI KONFLIK DAN LUKA BATIN

Kejadian 13:8.

Dalam hidup kita tidak bisa mencapai kondisi seperti sekarang ini sendirian. Dalam perjalanan hidup kita, apakah itu masih dalam hitungan tahunan, belasan tahun, atau puluhan tahun. Kita dipengaruhi orang-orang di sekitar kita.

Kita dipanggil untuk hidup dalam sebuah komunitas. Ketika Yesus mengorbankan diriNYA di kayu salib, IA tidak menjadikan orang yang percaya kepadaNYA bergerak sendiri-sendiri. IA mengumpulkan orang-orang percaya itu dalam suatu komunitas, yang kemudian disebut Jemaat atau Gereja.

Saat seseorang ada dalam komunitas tentu saja akan muncul gesekan dan pertentangan. Karena tidak ada orang yang sama persis dengan orang yang lain. Perbedaan itulah yang menimbulkan gesekan, dan gesekan itu tidak terhindarkan, yang penting adalah penanganannya. Sama halnya juga di dalam diri kita akan selalu ada pertentangan antara satu ide dengan ide yang lain. Tantangannya adalah bagaimana mendapat solusi dari pertentangan tersebut.

Dua ide yang saling bertentangan di dalam diri kita (konflik internal) bentuknya bisa approach-avoidance, approach-approach, avoidance-avoidance, atau double approach-avoidance [i]. Kekuatan di luar diri kita (konflik eksternal) yang saling bertentangan, akan menjadi fokus bahasan kita kali ini.

Ketidakcocokan atau ketidaksetujuan bila dilihat dan disikapi dengan benar akan menjadikan konflik tidak menjadi menakutkan. Maksudnya dengan belas kasihan dan kebaikan hati yang menjadi dasar. Kita dapat melihat konflik dari sudut pandang lain dan melahirkan penilaian yang tidak semata-mata negatif, baik misalnya di dalam pekerjaan, keluarga, maupun dalam komunitas [ii].

Yesus adalah tokoh Alkitab yang menangani konflik dengan sangat baik. Kita melihat 2 komponen yang disebutkan di atas (belas kasihan dan kebaikan hati) ada dalam diriNYA dengan melimpah. Meskipun manusia selalu tertarik pada penyelesaian konflik dengan mengedepankan ketidakcocokan, Yesus tidaklah demikian.

Kita belajar dari kisah-kisah Yesus berikut:

  1. Yesus dan Perempuan yang Berzina (Yohanes 8:1-11): Orang-orang Farisi membawa seorang perempuan yang tertangkap basah berzina kepada Yesus, berharap untuk menjebak-Nya dalam konflik hukum. Namun, Yesus merespon dengan bijak dan belas kasihan. Dengan perkataanNYA Yesus menunjukkan pengampunan dan mendorong orang-orang yang menjebakNYA tanpa perkataan kasar ataupun emosional.
  2. Yesus menyembuhkan di Hari Sabat (Markus 3:1-6): Dalam Rumah Ibadat, Yesus menyembuhkan yang diprotes banyak pemimpin agama. Namun Yesus tidak menghindari konflik, Yesus malahan menantang mereka dengan menunjukkan bahwa berbuat baik dan menyelamatkan nyawa adalah lebih penting daripada mematuhi aturan hukum yang kaku.
  3. Yesus dan Petrus (Matius 16:21-23): Ketika Petrus menegur Yesus karena berbicara tentang penderitaan dan kematian-Nya yang akan datang, Yesus menanggapi dengan tegas. Yesus dalam kisah ini menghadapi konflik langsung dengan mengklarifikasi misi-Nya dan menunjukkan bahwa pemikiran manusiawi tidak bisa menghalangi rencana ilahi.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Yesus selalu menghadapi konflik dengan kebijaksanaan, belas kasihan, dan hati yang penuh kasih, serta mengajarkan kita untuk melakukan hal yang sama dalam kehidupan kita sehari-hari. Mari kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut saat menghadapi konflik:

A. Menghadapi Ketidaksepakatan di Rumah Tangga:

– Apakah ada yang memicu emosi negatif dalam diri kita?

– Cobalah melihat situasi tersebut dari sudut pandang orang lain. Apakah kita bisa menemukan belas kasihan dan kebaikan hati dalam situasi itu?

B. Menghadapi konflik dengan rekan kerja atau teman:

– Apakah ada konflik yang belum terselesaikan?

– Renungkan bagaimana Yesus mungkin akan merespons situasi tersebut dan bagaimana kita bisa meniru belas kasihan dan kebaikan hati-NYA.

C. Konflik dalam Komunitas atau Gereja:

– Bagaimana kita bisa berperan sebagai pembawa damai?

– Adakah saat kita merasa gagal menunjukkan belas kasihan dan kebaikan hati?

Bagaimana dengan luka batin? Ini adalah luka yang tidak berdarah istilahnya. Sama seperti kondisi badan yang dapat terluka, batin atau jiwa juga bisa terluka. Stres adalah salah satu sumber luka tersebut. Stres yang berulang, berkepanjangan, dan atau yang traumatis bisa menghasilkan bekas emosional.

Contoh Alkitab yang sangat terkenal adalah Yusuf. Yusuf menjadi “korban” yang lebih parah dari ketidakadilan keadaan. Namun semua kesulitan itu tidak membuat Yusuf menjadi seorang pendendam. Tetapi ia malah menjadi pribadi yang penuh kasih karunia dan seorang pemelihara keluarga. Kejadian 47:12.

Apakah kesukaran hidup memengaruhi cara Yusuf mengasuh anak-anaknya?  Alkitab tidak mencatat masalah yang terjadi dalam rumah tangga Yusuf, khususnya dalam hal hubungan ayah dengan anak. Tetapi patut diperhatikan bahwa ia tetap tidak bisa lupa dengan kepahitan hidupnya, yang terefleksi dari nama anak-anaknya. Kejadian 41:51-52.

Kalau kita melihat ke tokoh Perjanjian Baru yang juga menjadi seorang “Juru Selamat”, seseorang yang dikenal sebagai “Bin Yusuf”, namanya Yesus. Bagaimana IA menangani luka batinnya adalah dengan mengampuni. Hal ini bahkan diulang berkali-kali dalam pengajaran dan perkataanNYA. Lukas 6:37, 17:3, 23:34. Sekarang pilihannya ada di tangan kita. Jika Yesus meminta kita melakukannya, pasti IA memampukan kita untuk itu. 1Korintus 10:13.


[i]  Contoh lain bisa ditemukan dalam Alkitab, ketika umat Israel harus memutuskan untuk memasuki Tanah Perjanjian. Tanah itu dijanjikan sebagai tempat yang penuh susu dan madu (approach), tetapi mereka juga tahu bahwa tanah itu dihuni oleh bangsa-bangsa yang kuat yang akan sulit dikalahkan (avoidance). Jika tetap di padang gurun, mereka menghindari peperangan (avoidance), tetapi mereka juga kehilangan kesempatan untuk memasuki tanah yang dijanjikan oleh Allah (approach).

[ii] Contoh konflik dari kehidupan Sehari-hari

Dalam pekerjaan: Misalnya, ketika dua rekan kerja memiliki pandangan berbeda tentang cara terbaik menyelesaikan proyek. Alih-alih berdebat keras, mereka bisa mendengarkan satu sama lain dengan baik, mencari titik temu, dan bekerja sama untuk mencapai solusi yang terbaik untuk semua pihak.

Dalam keluarga: Ketika ada perbedaan pendapat antara orang tua dan anak tentang pilihan karir atau pendidikan. Dengan pendekatan belas kasihan dan kebaikan hati, kedua belah pihak bisa saling mendengarkan dan mencoba memahami perspektif satu sama lain, serta menemukan jalan tengah yang bisa diterima.

Dalam komunitas: Dalam sebuah kelompok atau komunitas, ketika ada ketidaksepakatan tentang kegiatan atau keputusan yang akan diambil. Menggunakan belas kasihan dan kebaikan hati, anggota komunitas bisa berdialog dengan jujur dan penuh pengertian, sehingga bisa mengambil keputusan yang menguntungkan bersama.

Leave a comment