Semoga semua kita ada dalam keadaan yang sehat di masa-masa yang sulit ini. Semua dari kita butuh inspirasi untuk dapat menjalani hidup dan mencapai garis finis dengan akhir yang baik. Terutama di tengah kesulitan hidup, kita butuh teladan dari orang yang pernah melewatinya.
Semua orang yang pernah mendengar kisah-kisah Alkitab pasti sedikit banyak mengetahui pelajaran-pelajaran hidup yang bisa didapat dari Yusuf. Kali ini catatan tertulis saya akan disajikan dengan beberapa referensi literatur akademis, sehingga Anda bisa mempelajarinya secara terpisah dengan mengaksesnya secara online.
Saya percaya kita bisa belajar dari semua fase kehidupan Yusuf meskipun bahasan kali ini belum dapat secara komprehensif mengulas kehidupan Yusuf, tetapi semoga sekelumit bahasan tentang tokoh Alkitab yang satu ini bisa menginspirasi kita untuk menjalani kehidupan dan tantangan-tantangannya dengan lebih baik.
AWAL HIDUP YUSUF
Nama Yusuf pertama kali disebutkan di Alkitab dalam Kejadian 30:24. Ketika Rahel, istri Yakub, melahirkan anak kandung pertamanya, setelah ia bergumul dengan kemandulannya dan “persaingan” dengan kakaknya, Lea, di ayat 1-3. Nama Yusuf dalam bahasa aslinya berarti “IA (Tuhan) menambahkan”, hal ini sesuai dengan tradisi Perjanjian Lama yang kita sudah baca di ayat 24.[1]
Secara garis besar Yusuf adalah anak Yakub yang lebih dikasihi dibanding saudara-saudaranya yang lain. Hal ini menimbulkan iri hati dan kebencian yang mengakibatkan Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya sebagai budak saat ia masih remaja, yang pada akhirnya mengakibatkan dampak luar biasa bagi banyak orang.[2] Sampai di sini kita belajar untuk tidak mudah menyerah ketika mengalami kesulitan hidup.
Yusuf diolok-olok sebagai seorang pemimpi oleh saudara-saudaranya karena dua mimpi yang ia ceritakan kepada mereka. Pada akhirnya mimpi tersebut menjadi kenyataan, dan karena berhasil menerjemahkan mimpi secara akurat, Yusuf menjadi penyelamat keluarganya. Tetapi sebelum itu ia harus melalui proses yang tidak mudah yang nanti kita akan pelajari.
PELAJARAN DALAM KELUARGA
Yusuf menjadi anak yang dikasihi lebih dari saudara-saudaranya yang lain, karena ia lahir dari istri yang lebih dikasihi, dan lahir di masa tua ayahnya. Lahir dalam keluarga yang dilatarbelakangi persaingan membuat apa yang dituliskan di Kejadian 37:3-4 menjadi salah satu pergumulan yang harus dihadapi Yusuf.
Saudara-saudaranya membenci dia karena perlakuan yang tidak adil ditunjukkan oleh ayah mereka. Ini diperparah dengan tindakan Yusuf yang menceritakan mimpinya dimana ia digambarkan akan menjadi pemimpin atas saudara-saudaranya. Ayat 5-9.
Mimpi yang didapat Yusuf, oleh cendekiawan modern Yahudi, dipandang sebagai pesan dari Tuhan yang sebenarnya tidak dipahami jelas oleh Yusuf. Yusuf tidak sadar bahwa nantinya ia akan menjadi penguasa atas suatu bangsa besar, dan bahkan atas saudara-saudaranya.[3]
Karena itu ia menceritakan hal itu kepada ayah dan saudara-saudaranya. Namun saudara-saudaranya menganggap bahwa mimpi itu adalah gambaran keinginan Yusuf saat itu untuk menjadi lebih dewasa secara fisik dan menjadi pemimpin saudara-saudaranya.[4]
Mimpi-mimpi Yusuf menjadi penyulut rasa benci karena ketidak adilan yang dirasakan saudara-saudaranya oleh perlakuan Yakub, ayah mereka. Kalau kita membandingkan dengan bagaimana Yusuf nantinya diperlakukan oleh Potifar dan Kepala Juru Minuman Firaun, Yusuf menjadi “korban” yang lebih parah dari ketidakadilan keadaan. Namun semua kesulitan itu tidak membuat Yusuf menjadi seorang pendendam, tetapi malah penuh kasih karunia dan pemelihara keluarganya. Kejadian 47:12.
MEMBENTUK MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK
Apakah kesukaran hidup memengaruhi cara Yusuf mengasuh anak-anaknya? Alkitab tidak mencatat masalah yang terjadi dalam rumah tangga Yusuf, khususnya dalam hal hubungan ayah dengan anak. Tetapi patut diperhatikan bahwa ia tetap tidak bisa lupa dengan kepahitan hidupnya, yang terefleksi dari nama anak-anaknya. Kejadian 41:51-52.
Sama seperti budaya patriarki yang ada di zamannya, Yusuf tetap menempatkan anaknya yang sulung (Manasye) sebagai yang utama, dan ini bukan karena favoritisme. Meskipun pada akhirnya Yakub di akhir hidupnya menyilangkan tangan dan yang bungsu (Efraim) menerima berkat sulung (yang lebih besar). Kejadian 48:13-20.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa kehidupan rumah tangga Yusuf, khususnya antara dirinya dan anak-anaknya bukanlah refleksi dari apa yang dilakukan oleh ayah dan saudara-saudaranya. Ia menjadi ayah yang tidak membangkitkan amarah anak-anaknya (Efesus 6:4) dan menjadi orang yang mengampuni tanpa menaruh dendam kepada saudara-saudaranya (Kolose 3:13).
PELAJARAN DALAM PEKERJAAN
Sebenarnya pekerjaan yang Yusuf lakukan adalah sesuatu yang dipaksakan kepadanya, karena statusnya adalah budak belian. Kejadian 39:1. Tetapi keberadaan Yusuf, tingkah laku, dan sikapnya benar-benar menjadi berkat bagi tuannya. Ayat 2-6. Keberhasilan Yusuf tidak ditentukan oleh pekerjaannya, melainkan penyertaan Tuhan dalam hidupnya.
Tentu saja kita tidak mendukung perbudakan dalam bentuk apapun. Tetapi dalam konteks ribuan tahun lalu, dengan membandingkan apa yang terjadi di Roma abad pertama, para budak adalah para pekerja. Mereka bekerja di rumah-rumah, perkebunan, kapal, dan banyak bidang pekerjaan lain sesuai kehendak tuan mereka. [5] Tentu saja kita tidak bisa samakan karyawan di zaman sekarang dengan budak di zaman kuno.
Paulus pernah menasihatkan supaya seorang tuan dihormati supaya seorang Kristen yang bekerja untuknya tidak menjadi bahan hujatan. 1Timotius 6:1-2. Demikian kita juga mengenal sebuah ayat yang terkenal di Kolose 4:23 dimana konteks ayat itu ditujukan kepada orang-orang yang bekerja untuk tuan mereka.
PEMBENTUKAN SEORANG PEMIMPI MENJADI SEORANG PEMIMPIN
Hidup Yusuf berubah ketika ia dijebloskan ke dalam penjara karena fitnah dari istri tuannya, Potifar. Sekarang statusnya berubah dari seorang budak menjadi seorang tahanan. Tetapi di penjara, Yusuf kembali menunjukkan tingkah laku dan sikap yang terpuji. Itulah sebabnya ia mendapat kepercayaan dari kepala penjara. Kejadian 40:21-23.
Hal ini juga menunjukkan kualitas kepemimpinan Yusuf. Ia dapat memimpin dirinya, mengatur emosinya sedemikian rupa meskipun ada dalam kondisi tidak ideal. Ia mengurus dengan baik apa yang dipercayakan kepadanya dan dapat dipercaya. Hal ini sebelumnya juga ditunjukkannya di rumah Potifar. Dedikasinya kepada pekerjaan, ditambah sensitivitasnya melihat kondisi orang-orang di sekitar (Kejadian 40:6-7) membuka jalan untuk Yusuf menjadi pemberi solusi.
Solusi yang Yusuf berikan berasal dari karunia Tuhan yang ia miliki. Karunia ini tidak akan berguna bagi kebaikan Yusuf, dan bagi orang lain, kalau ia hanya menyimpannya. Penting untuk kita bisa memaksimalkan apa yang kita miliki. Kita memandang kepada suatu tujuan yaitu menyenangkan siapapun yang menjadi atasan kita dan tidak tertahan di situasi mengasihani diri sendiri. Belajarlah dari hamba yang jahat dan malas di Matius 25:24-28.
Setelah belasan tahun dalam situasi yang tidak menyenangkan Yusuf mendapat kesempatan untuk menghadap FIraun dan menunjukkan bahwa Allah yang menolong ia selama ini dan menjadikan ia berhasil menerjemahkan mimpi. Yusuf bukanlah sumber kesuksesan, namun Tuhan yang menyertainya. Kejadian 41:16. Ini adalah titik dimana pilihan Yusuf untuk tidak menjadi putus asa, dan setia mengerjakan hal-hal kecil terbayarkan.[6]
Janji Allah melalui mimpi kepada Yusuf digenapi bukan karena Yusuf diperlakukan berbeda oleh Yakub. Tetapi karena Yusuf secara sadar melibatkan Allah dalam segala kondisi yang ia hadapi. Apakah ketika ia menjadi budak, menjadi tahanan, atau saat ia menjadi jawaban bagi Firaun, Yusuf mengembalikan segala kemuliaan bagi nama Tuhan. Saya ingin menutup bahasan kali ini dengan membaca Roma 16:25-27.
[1] David Noel Freedman, The Anchor Bible Dictionary Vol.3 (New York: Doubleday, 1992), p.976.
[2] Jack W. Hayford and Joseph Snider, Promises and Beginnings: Examining Excellence in the Creator’s Ways (Nashville: Thomas Nelson, 1997), Lesson 11 – A Savior: Joseph Betrayed.
[3] Russell Jay Hendel, “Joseph: A Biblical Approach to Dream Interpretation,” Jewish Bible Quarterly Vol.39, No.4 (2011): 237.
[5] Zvi Yavetz, Slaves and Slavery in Ancient Rome (New Jersey: Transaction Publishers, 1991), p.1.
[6] Larry Richards, Every Man in the Bible (Nashville: T. Nelson, 1999), p.75.