KUASA ILAHI

2Petrus 1:3

Bagi orang percaya keselamatan adalah hal yang paling pertama didapatkan dengan percaya kepada nama Yesus. Roma 10:10. Setelah diselamatkan seorang Kristen tidak bisa berhenti dan puas hanya karena ia sudah diselamatkan. Pada beberapa kegerakan Kristen “keselamatan dalam Yesus” kemudian harus meningkat kepada kesucian diri, baptisan Roh Kudus, yang disertai kuasa untuk melayani.[1]

Hal ini yang kemudian menjadi dasar teologis bagi Gerakan Pentakosta yang muncul sesudahnya, sampai dengan Injil Pentakosta itu tiba di Indonesia. Bagi Gereja Pantekosta di Indonesia pengertian mengenai keselamatan dan kemudian kepenuhan Roh Kudus menjadi bagian dari pernyataan iman Gereja. Jika kita perhatikan pernyataan iman ke-6 dan ke-5 kita bisa belajar pemahaman tentang hal-hal tersebut.[2]

Saya akan membacakan pernyataan-pernyataan ini untuk menyegarkan ingatan jemaat, mulai dari pernyataan iman keenam baru kemudian yang kelima, sesuai dengan urutan yang saya sampaikan di awal tadi:

  • Pernyataan Keenam dituliskan demikian, “Kami percaya baptisan air, yaitu diselamkan dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, yaitu Tuhan Yesus Kristus wajib dilakukan bagi mereka yang diselamatkan yaitu percaya, bertobat dan lahir baru, untuk menggenapkan kebenaran Allah”. Kisah Para Rasul 2:38.
  • Kemudian di Pernyataan Kelima menyebutkan, “Kami percaya Roh Kudus adalah Pribadi Allah yang memiliki slfat: Kekal, Mahahadir, Mahakuasa, Mahatahu, Mahakudus, Mahakasih dan baptisan Roh Kudus yaitu kepenuhan Roh Kudus dengan tanda berkata-kata dalam berbagai bahasa sebagaimana diilhamkan oleh Roh Kudus diterima oleh orang percaya, bertobat dan lahir baru”. Kisah Para Rasul 10:44-46.

Jika kita kembali ke ayat awal bahasan ini dalam 2Petrus 1:3, kata “kuasa” di ayat ini memakai kata yang sama dalam bahasa asli dengan kata “kuasa” di Kisah Para Rasul 1:8. Sehingga kuasa ilahi di ayat ini adalah kuasa yang berasal dari Roh Kudus. Namun kepenuhan Roh Kudus berdasar tulisan dari Petrus bukan sekadar berhenti pada tanda awal (initial evidence).

Kuasa Roh Kudus seharusnya membawa seseorang kepada hidup yang saleh dan pengenalan akan Allah. Sehingga kepenuhan Roh Kudus menghasilkan hal-hal yang dapat dilihat orang-orang lain di sekitarnya. Motivasi yang membuat Gereja mengadakan Doa 10 Hari Pencurahan Roh Kudus, bukan sekadar tradisi semata.

Memang tradisi adalah suatu kebiasaan yang kita ulangi karena sesuatu tersebut kita dapati sebagai sesuatu yang baik. Bahkan sebenarnya tradisi adalah bagian dari pemahaman teologis awal Pentakosta, yang bisa dijelaskan lewat peran Roh Kudus di empat area berikut: Firman/Pewahyuan Allah, Nalar, pengalaman, dan tradisi.[3]

Pemahaman kita tentang kuasa ilahi yaitu kuasa Roh Kudus bisa kita telusuri kembali pada apa yang terjadi di awal abad ke-20, oleh seorang tokoh yang bernama Charles Parham. Ia menjadi tokoh yang tercatat sebagai bagian sejarah kegerakan Pentakosta. Secara singkat, ia membuat suatu Sekolah Alkitab yang memakai Alkitab sebagai satu-satunya buku teks dalam keseluruhan pelajarannya.

Ia memberi tugas kepada murid-muridnya tentang tanda seseorang mengalami baptisan Roh Kudus. Mereka kemudian sepakat bahwa tanda Alkitabiah seseorang dibaptis (dipenuhi) Roh Kudus adalah berbahasa lidah. Mereka kemudian menentukan waktu di pergantian tahun 1900 ke 1901 untuk berdoa kepada Tuhan untuk mengalami pengalaman Alkitab tentang kepenuhan Roh Kudus. Mereka mengalami itu, dan hal ini dicatat sebagai salah satu awal Gerakan Pentakosta di awal abad ke-20.[4]

Pengalaman ini kalau kita cari di Alkitab tercatat di Kisah Para Rasul 1:14, 2:1-4. Tentu ini bukan saja terjadi dan berhenti pada Gereja mula-mula, dan di awal pergerakan Injil Pentakosta, namun ini masih terjadi sampai sekarang. Bagi kita Gereja di Akhir Zaman, kuasa ilahi ini juga masih bekerja supaya kita mencapai kesalehan hidup dan pengenalan akan Tuhan. Untuk mempersiapkan kita menjadi Mempelai Pengantin Kristus, yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi mempelai yang mencapai totalitas kesempurnaan di dalam DIA, dan bagi DIA, Tuhan Yesus Kristus, mempelai laki-laki Gereja.  


[1] Allan Heaton Anderson, An Introduction to Pentecostalism (New York: Cambridge University Press, 2014), Ch. 2 – Background and context – Revivalism and Keswick. Kindle.

[2] Beranda – Visi dan Misi – 17 Pengakuan Iman GPdI, accessed May 27, 2023,  https://gpdimahanaim-tegal.org/.

[3] Winfield Bevins, “A pentecostal Appropriation of the Wesleyan Quadrilateral”, Journal of Pentecostal Theology 14, 2 (2006): 229-246.

[4] Anderson, Pentecostalism, Ch. 2 – Background and context – Charles Fox Parham. Kindle.

PENGHARAPAN AKAN KEMULIAAN

(Totalitas Iman Pengikut Kristus)

Kita bersyukur kita diciptakan sebagai mahluk yang mulia, jauh lebih mulia bahkan dari ciptaan-ciptaan lain baik di muka bumi maupun yang di Surga. Kita berasal dari berasal dari kemuliaan kepada kemuliaan. Jadi sebenarnya kita memiliki tujuan yang sama yaitu menuju kemuliaan. Masalahnya adalah proses ditengah-tengahnya, bagaimana kita sampai kepada kemuliaan itu.

Mari kita melihat bagaimana kemuliaan itu pada mulanya. Dalam Kejadian 1 kemuliaan itu adalah Allah. Allah yang mulia menciptakan segala sesuatunya mulia. Sesuatu yang mulia, akan menunjukkan keindahan, dan kebaikan.

Namun ternyata di tengah-tengah proses itu ada masalah. Allah sudah menyiapkan yang terbaik namun manusia memilih yang sesuai dengan pemikirannya sendiri. Kita, manusia yang menginisiasi masalah itu. Yakobus 4:1-3.

Untuk mengatasi masalah yang dibuat manusia ini, Allah menyiapkan suatu karya penebusan. Manusia sudah bersalah dan harus dihukum. Tetapi Allah begitu penuh kasih karunia menyediakan penebusan bagi manusia. Apakah manusia harus melakukan sesuatu untuk menerima kasih karunia Allah? Bayangkan sebuah pengadilan dengan Hakim dan Pengacaranya adalah Allah Bapa dan Putra. Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa melakukan apapun selain percaya. Itulah mengapa dalam Kejadian 15:6 Allah tidak menunjukkan kasih karuniaNYA berdasarkan perbuatan Abram (yang nantinya disebut Abraham), tetapi karena Abram percaya. Rasul Paulus juga pernah menuliskan kepada jemaat di Roma mengenai kasih karunia yang memberi kita…

PENGHARAPAN AKAN KEMULIAAN (Roma 5:2)

“Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.”

Dalam ayat ini iman dikatakan menjadi sarana kita sampai kepada kemuliaan. Bagaimana iman bisa mengantarkan kita pada kemuliaan? Dengan membuat kita berkenan di hadapanNYA. Ibrani 11:6. Berita ini perlu diterima dengan pertobatan yaitu perubahan pikiran (Roma 12:2), karena dari perubahan pikiran akan berdampak pada perubahan perbuatan.

Iman terhadap apa? Terhadap kasih karunia yang Yesus lakukan. Ketika Allah mengasihi Abraham, DIA tidak melihat kelemahannya. Menarik bahwa Abraham adalah model suami yang buat saya tidak melindungi istri.

Kalau langsung lompat ke Perjanjian Baru, menurut Anda apa yang membenarkan Petrus? Perbuatannya yang menyombongkan diri di depan murid-murid lain? Atau emosinya yang menggerakkan pedangnya kepada Malkhus? Tentu bukan! Tetapi imannya kepada kasih karunia Yesus. Yohanes 21:7.

Bandingkan kontrasnya dengan Yudas Iskariot, yang bukan mengandalkan iman namun pandangannya. 2Korintus 4:18. Karena yang sementara ia kehilangan yang kekal. Namun demikian ada satu hal lagi yang membuat Yudas tidak bisa direstorasi: Kebenaran diri sendiri.

Apa yang kemudian membuat kita percaya kepada sesuatu yang tidak kita bisa lihat ini? Kuasa Roh Kudus. Anda mungkin berkata tetapi bukankah orang percaya karena mendengar atau melihat? Tentu saja, tetapi semua itu ada karena karya Roh Kudus.

Dalam Efesus 1:14 Rasul Paulus menjelaskan bahwa Roh Kudus adalah jaminan bahwa kita akan mendapat keseluruhan dari bagian kita dalam Kristus. Yesus sendiri berkata bahwa Roh Kudus adalah Roh yang menghibur kita, sebelum kita akan bersama dengan Yesus. Yohanes 14:26. Atas hal ini lah kemudian Roma 8:18 menjadi kekuatan bagi kita, dalam situasi apapun yang akan Anda alami sebagai pribadi, Keluarga, Gereja, dan apapun yang Tuhan sudah posisikan Anda.

DIA BANGKIT

Kisah Para Rasul 2:31

Hari ini kita merayakan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Setelah kemarin memperingati kematianNYA di atas kayu salib untuk penebusan dosa kita. Petrus di ayat tersebut mengutip tentang perkataan Daud di Mazmur 16:10 sebagai nubuatan tentang kebangkitan Mesias. Kalau Yesus mati untuk menjadi penebus dosa manusia, lalu apa signifikansi (pentingnya) kebangkitan Yesus?

MEMBUKTIKAN KLAIM YESUS

Jika kita membaca perkataan Yesus di Yohanes 11:25 maka jelas kebangkitan Yesus adalah bukti bahwa IA benar-benar “Kebangkitan dan Hidup”. Maksudnya semua orang yang percaya kepada Yesus hanya akan mengalami kematian pertama (kematian jasmani) – kecuali Gereja Sempurna yang akan diubahkan dan menyongsong Yesus di awan-awan tanpa perlu mengalami kematian jasmani. 1Tesalonika 4:16-17. Semua orang yang percaya pada Yesus tidak akan mengalami kematian kedua! Wahyu 20:12-14.

Hal inilah yang membuat Yesus menjadi pengharapan kita yang dapat dipercaya, penulis Ibrani mengatakan, “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita…” Ibrani 6:17-20. Dalam hal ini kita mengerti bahwa ayat-ayat di Ibrani ini memberi gambaran tentang tugas seorang Imam Besar yang membawa darah pendamaian bagi umat Israel ke belakang tabir (Ruang Maha Kudus), di mana Allah berdiam di sana. Yesus adalah Imam Besar Agung kita yang membawa darahNYA sendiri kepada Allah Bapa untuk mendamaikan dosa manusia.

Yesus melakukan ini dengan bangkit dari kematian dan pergi kepada Bapa. Kita tentu ingat percakapan Yesus dengan Maria setelah kebangkitanNYA. Yohanes 20:17. Ini yang membedakan Yesus dengan pemimpin agama lain, IA telah bangkit, karena itu dapat menjamin kita semua yang percaya kepadaNYA untuk mengalami hal yang sama. JanjiNYA terbukti!

JANJI PENYERTAAN-NYA

Saat Yesus bangkit, IA meninggalkan pesan yang begitu kuat kepada murid-muridNYA. Kita mengenalnya sekarang sebagai Amanat Agung. Matius 28:19-20. Satu hal yang perlu kita pegang sebagai janjiNYA juga kepada kita adalah bahwa Yesus, “…menyertai… senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Artinya dengan kebangkitanNYA kita tidak sendiri, IA tetap ada, IA tetap bekerja menopang dan mengendalikan semuanya. Yohanes 5:17.

Semua orang percaya tentu familiar dengan salah satu ayat yang sangat terkenal ini. Roma 8:28. Allah turut bekerja dalam hidup seseorang yang percaya untuk mendatangkan kebaikan. Allah bisa bekerja saat kita dalam krisis hidup (Ester 4:13-16). Bahkan dalam saat yang mengancam nyawa (Markus 4:37-39). Ini adalah salah satu karakteristik seorang pengikut Yesus yang sejati (Filipi 2:6), mereka tidak menganggap hidup ini sebagai milik yang harus dipertahankan. Melainkan menjadikan segalanya adalah untuk Tuhan, baik hidup ataupun mati. Roma 14:8.

Allah juga dapat bekerja dalam langkah hidup yang gelap (Lukas 24:15-27). Bahkan menjadikan keadaan yang tertindas sebagai kesempatan bagi kita belajar mengenai firmanNYA. Mazmur 119:71. Allah bekerja di saat kita mendapatkan untung, dan DIA bekerja di saat kita merasakan kerugian.

Janji Allah sangat teruji (Mazmur 119:140), seperti matahari yang selalu terbit. Kita bisa tidak melihat matahari karena awan mendung atau apapun yang menutupi pandangan kita. Tetapi IA ada, IA bekerja, IA tidak tertidur, nantikanlah sinar wajahNYA menyentuh hidupmu. Bilangan 6:24-26. KebangkitanNYA adalah janji bahwa semua orang yang percaya memiliki pengharapan pasti baik untuk masa sekarang, maupun masa yang akan datang!

ANGKAT TANGAN

Mazmur 134:2

Perintah “angkat tangan” sering kita dengar dalam suatu situasi dimana seorang penegak hukum berusaha memeringatkan seorang tersangka atau penjahat untuk menyerah. Kalau dalam konteks ibadah, mengangkat tangan adalah posisi menyembah sebagai tanda penyerahan dan pelayanan. Ini adalah karakteristik dari pengikut Yesus.[1] Dalam beberapa bagian Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mengangkat tangan identik dengan penyembahan atau doa kepada Tuhan.

Mari kita mulai dari Perjanjian Lama. Dalam Nehemia 8:7 ketika Ezra memuji Tuhan, umat Tuhan menyambut dengan mengangkat tangan dan sujud menyembah. Mengangkat tangan juga adalah suatu sikap datang kepada Tuhan dalam Ratapan 3:41. Ada kata lain yang serupa dengan mengangkat tangan yaitu menadahkan tangan, seperti di 1Raja-raja 8:54 atau di Mazmur 143:6. Sedangkan dalam Perjanjian Baru menadahkan tangan dikaitkan dengan berdoa, seperti di 1Timotius 2:8.

Saya percaya pujian adalah pernyataan memuji Tuhan atas apa yang IA lakukan dalam hidup kita. Ulangan 10:21. Sementara itu penyembahan adalah memuja Tuhan karena pribadiNYA, berdasarkan pengenalan akan siapa Allah itu. Yehezkiel 1:26-28. Namun keduanya dapat diekspresikan dengan mengangkat tangan.

Mengangkat tangan adalah suatu gerakan yang dapat dilakukan dengan tingkat kesulitan yang rendah. Tetapi mempertahankan untuk mengangkat tangan adalah sesuatu yang dapat melelahkan, bahkan menyakitkan. Seorang India bernama Amar Bharati mengangkat tangan kanannya sejak tahun 1973 dan tidak pernah menurunkannya sampai dengan hari ini. Ia melakukan ini demi komitmennya untuk memuja dewa Siwa (terjemahan lain Shiva/Siva).[2] Percayalah kita memiliki Allah yang luar biasa melebihi segala allah, IA layak menerima jauh lebih banyak dari yang bisa allah lain terima. Yesaya 40:18-20.

Korban atau kurban adalah suatu pemberian atau persembahan untuk Tuhan berdasarkan kata serapan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.[3] [4] Hal ini tentu saja menimbulkan rasa sakit, rasa kehilangan, namun di saat yang sama direlakan karena dipersembahkan kepada Tuhan. Daud pernah memberikan pernyataan bahwa harus ada harga yang dibayar untuk suatu korban. 2Samuel 24:24.

Tahun 2023 adalah tahun totalitas bagi kita jemaat, karena Allah sudah memberikan segalanya bagi kita terlebih dahulu. IA menyelamatkan kita tanpa ada satu pun yang harus dikerjakanNYA lagi, karena semuanya sudah selesai secara sepenuh-penuhnya, menyeluruh, total. Yohanes 19:30. Kita bisa merespons dengan melakukan apa yang tertulis dalam hukum terutama. Markus 12:30. Ayat ini sebenarnya sudah pernah tertulis di Perjanjian Lama yaitu di Ulangan 6:5.

Kita dapat melihat bahwa perintah untuk mengasihi Allah dengan segenap kekuatan, kemudian ditambah dengan interpretasi dari Mazmur 35:10 dimana segala tulang (keseluruhan tubuh) berkomunikasi dengan Tuhan. Ini menjadi alasan seorang penganut Yudaisme untuk mengaktifkan semua aspek jasmani dan jiwani agar terlibat dalam doa. Ia mendorong setiap jaringan hidup untuk terlibat dalam hubungan dengan Sang Pencipta.[5]

Contoh doa yang dipanjatkan orang Yahudi.

Kalau mereka yang belum percaya dalam anugerah total dalam Tuhan Yesus Kristus dapat melakukan hal itu, tentu saja kita punya alasan lebih kuat untuk mengangkat tangan kita dalam penyembahan. Setidaknya karena kita mengerti 3 hal berikut:

  • Mengangkat tangan adalah bagian dari pujian dan penyembahan kepada Tuhan.
  • Mengangkat tangan dapat menjadi korban yang dipersembahkan bagi Tuhan.
  • Mengangkat tangan dengan kerinduan untuk mengasihi Tuhan dengan seluruh kekuatan.

Hal ini disampaikan bukan supaya kita memiliki ritual dalam ibadah kita. Bukan juga supaya kita saling menghakimi satu dengan yang lain. Namun supaya kita bisa memahami bagaimana mencapai totalitas dalam pujian dan penyembahan kita.


[1] Markus Bockmuehl (editor), “The Cambridge Companion to Jesus” (Cambridge Companions to Religion), 2001. Cambridge University Press. Kindle Edition. Jesus and his God – The Beginning of Jesus’ Public Ministry, par.5.

[2] Nesa Alicia, “Amar Bharati, Petapa India Mengangkat Lengan Kanannya Selama 45 Tahun”,  https://nationalgeographic.grid.id/read/13947159/amar-bharati-petapa-india-mengangkat-lengan-kanannya-selama-45-tahun. Terakhir diakses 25-Februari-2023.

[3] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek RI, KBBI Daring: “Kurban”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kurban. Terakhir diakses 25-Februari-2023.

[4] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek RI, KBBI Daring: “Korban”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/korban. Terakhir diakses 25-Februari-2023.

[5] Yehuda Shurpin, “Shuckling: Why Do Jews Rock While Praying? – The Swaying Candle”. https://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/702209/jewish/Shuckling-Why-Do-Jews-Rock-While-Praying.htm. Terakhir diakses 25-Februari-2023.

BAPA YANG BAIK

Yohanes 15:9. Belajar dari kasih Bapa. Ini adalah sesuatu yang begitu dasar dalam kekristenan, bahwa mungkin hanya kekristenan yang secara doktrin dan praktik memanggil Tuhan sebagai Bapa. Mengapa penting membahas ini di hadapan calon ayah, calon ibu, atau anda yang sudah menjadi ayah dan ibu, khususnya kita semua sebagai hamba-hamba Tuhan?

Ada beberapa statistik yang meskipun sampelnya bukan berasal dari Indonesia tetapi menurut saya data ini cukup mengkhawatirkan. Jadi ini statistik di Amerika Serikat mengenai “fatherless Generation” (http://www.rochesterareafatherhoodnetwork.org/statistics):

  • 63% dari kasus bunuh diri pada anak muda dilakukan oleh mereka yang berasal dari rumah tangga yang kehilangan sosok bapa.
  • 90% dari anak-anak yang menjadi gelandangan dan lari dari rumah berasal dari rumah tangga yang kehilangan sosok bapa.
  • 85% dari semua anak-anak yang menunjukkan perilaku menyimpang berasal dari rumah tangga yang kehilangan sosok bapa.

Ada beberapa alasan lain mengapa saya membahas hal ini:

Kalau ada ajaran agama lain berkata “surga ada di telapak kaki ibu” (HR. An-Nasai, Ahmad dan Ath-Thabarani), Alkitab berkata “hormatilah ayahmu dan ibumu”. Keluaran 20:12. Jika Anda berpikir bahwa ini hanya ada di Perjanjian Lama, maka Anda salah. Perintah yang sama ditegaskan oleh Yesus di dalam Matius 15:4. Bahkan diulangi oleh Paulus saat menuliskan surat kepada jemaat di Efesus. Efesus. Efesus 6:2-3.

Jadi dalam Alkitab kita harus menghormati sosok ayah sama seperti menghormati sosok ibu. Saya percaya kalau selama ini Anda mengabaikan atau tidak pernah memikirkan ini, atau pernah terlintas namun Anda lupakan karena mungkin ada pengalaman negatif dengan sosok ini, firman Tuhan datang untuk berbicara secara pribadi dengan Anda.

Seorang ayah akan melakukan segala sesuatunya untuk anaknya. Saya sering memberi contoh hubungan ayah-anak dengan salah satu staf Gereja kami yang memiliki anak balita. Dia bukan sekedar “bapak” secara formal, dia bersuka atas anak ini, dia rela untuk direpotkan oleh anak ini, dan yang terpenting dia punya rancangan yang indah untuk anak ini.

Bagi saya inilah mengapa Yesus ingin kita pengikutNYA memanggil Tuhan bukan dengan sebutan-sebutan di Perjanjian Lama: Adonai, Yehova, atau bahkan Yahweh.

Panggilan Bapa adalah hubungan personal, dan itulah yang Yesus inginkan dengan kayu salib. Yesus ingin Anda diperdamaikan dengan Allah. Efesus 2:15-18. Karena IA bersuka atas Anda (Lukas 15:10 – pasal ini digambarkan di reff dari lagu “Reckless Love” ), IA rela Anda repotkan (Matius 11:28), dan IA punya rancangan yang indah untuk Anda (Yohanes 14:1-3).

Dia menyediakan cinta sejati bagi kita yang selalu mencari jawaban atas cinta, ingat kisah perempuan Samaria di Yohanes 4. Seseorang yang tahu ia dicintai tidak mencari cinta di tempat lain, bahkan dia berjalan dengan percaya diri, dan tidak mengemis cinta. Allah Bapa, “Ayah” kita di Surga, mencintai kita sedemikian. Itulah mengapa Paulus berusaha menjadikan “bapa-bapa” Kristen merefleksikan hal ini. Efesus 6:4.

Seorang ayah juga menyediakan makanan yang baik bagi anaknya (Lukas 11:11-12). Demikian di mana pun seorang Kristen sudah merasakan kasih Bapa, berusaha menjadi “bapa” bagi orang lain, dan menyediakan makanan yang baik bagi mereka. Firman Tuhan ini bukan hanya untuk mereka yang akan dan sudah jadi ayah saja. Ini juga untuk Anda apa pun pelayanan yang Anda akan jalani ke depan.

Saya tahu iblis, dan dunia di sekitar kita merusak gambaran ayah, bapa, abba, yang baik. Saya malah percaya iblis memulainya di Taman Eden dengan menipu Hawa, bahwa rancanganNYA tidak baik. Kejadian 3:4-5. Tetapi saya rindu kita kembali kepada kebenaranNYA, bagaimanapun latar belakang Anda dan status Anda sekarang. Ketahuilah bahwa Allah kita adalah Bapa yang baik dan mengasihi Anda.

MENS REA  

Matius 15:18-19

Mungkin beberapa dari jemaat yang pernah belajar tentang hukum atau membaca artikel hukum pernah membaca istilah ini. Istilah “mens rea” adalah istilah dari bahasa latin yang oleh seorang pakar hukum diterjemahkan sederhana sebagai “guilty mind[1] atau suatu niat jahat seorang pelaku kriminalitas. Dengan begitu banyak berita tentang kriminalitas baik dalam skala internasional, nasional, dan lokal, apakah sempat terlintas di pikiran kita, bagaimana bisa niat jahat itu timbul dalam diri para pelaku kriminalitas ini. Dengan mengerti dan mempelajari hal ini kita bisa menjaga diri kita dari melakukan hal-hal jahat tersebut.

Ayat-ayat yang kita baca di awal menyebutkan bahwa hati yang jahat melahirkan perbuatan-perbuatan jahat. Kemudian perbuatan-perbuatan itu membuat kita menjadi najis. Ayat 20. Dalam Wahyu 22:11 disebutkan bahwa seseorang yang berbuat najis akan semakin najis di akhir zaman. Tentu saja sebagai bagian Gereja yang sempurna kita tidak ingin menggenapi hal tersebut. Malahan sebaliknya kita ingin hidup dalam kebenaran (Kisah Para Rasul 10:35) dan kekudusan (1Petrus 1:16).

Jika “mens rea” ditunjukkan seseorang, yaitu ketika seseorang memiliki niat, intensi, lalai, sehingga menimbulkan kejahatan, maka menurut firman Allah itu disebut dosa. Yakobus 1:14-15.

Dosa itu akan melahirkan maut, seperti apa yang dialami oleh seorang tokoh dalam Alkitab, namanya Yudas Iskariot. Jemaat pasti mengenal kisah pengkhianatannya kepada Yesus. Matius 26:14-16.

Yudas Iskariot adalah orang yang merancangkan kejahatan dengan mengkhianati Yesus. Yudas menjadi pelaksana dari rencana imam-imam. Ia melakukan ini karena sejumlah uang yang dia pikir berharga. Yudas menilai Yesus begitu rendah (hanya seharga budak saja).[2] Memang ada pandangan bahwa sebenarnya Yudas kecewa dan memperlakukan Yesus sedemikian karena merasa harapannya tentang mesias yang membebaskan Israel secara revolusioner dari penjajah (kata “sicarii” berarti pembunuh, suatu gerakan ekstrimis Yahudi),[3] tidak terjadi.

Saat Yudas mengikuti apa yang dikehendaki iblis maka kehidupannya berbalik 180 derajat. Seharusnya ia mendapat “hadiah dan penghargaan kekal” (Wahyu 21:14), namun malahan yang terjadi ia mendapat penghukuman kekal! Kisah Para Rasul 1:16-20. Ini adalah yang harus kita hindari.

Jika kita mempelajari Roma 6:16-22 maka kita akan mengerti bahwa kita perlu melakukan hal-hal ini untuk menghindari niat jahat dalam hidup kita:

  1. Menaati pengajaran firman Allah. Ayat 17.
  2. Menyerahkan tubuh menjadi hamba kebenaran. Ayat 19.

[1]  Paul H. Robinson, Mens Rea (Encyclopedia of Crime & Justice, 2002), 995, from https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=661161, diakses pada 27-Januari-2023.

[2] Pdt.David Ibrahim, Diktat Injil Matius “B” (Sekolah Alkitab Batu, 2023), 68.

[3] Craig L. Blomberg, Jesus and the Gospels: An Introduction and Survey, 2nd Edition (Nashville, Tennessee: B&H Publishing), 277. Kindle Edition.

PERNIKAHAN DI DALAM NAMA YESUS 

Kidung Agung 3:4

“Kutemui jantung hatiku.” (TB)

I found the one I love.” (NKJV)

Dalam undangan pernikahan Kenny & Yoanita yang saya terima, dikutip seperti ini, “I have found the one whom my soul loves.” Pernikahan adalah persekutuan intim dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Kejadian 2:24). Karena itu saya setuju dengan terjemahan Inggris yang menekankan tentang “the one”.

Pernikahan yang kita hadiri pada hari ini, apapun peran yang jadi bagian kita, adalah suatu pernikahan Kristiani. Pernikahan Kristiani harus didasarkan di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Apa yang Yesus ajarkan mengenai suatu pernikahan?

Pertama, dalam Matius 19:6 Yesus menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia! Jadi siapa pun orangnya, apa pun jabatannya, tidak bisa menceraikan pasangan yang sudah masuk dalam pernikahan. Ini yang harus dipahami betul pasangan, keluarga, teman-sahabat dan gereja sebelum pelaksanaan suatu pernikahan.

Kedua, dalam Matius 22:30 Yesus menjelaskan bahwa pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga! Jadi status suami istri kita hanya berlaku di bumi. Sesudahnya Anda hidup sebagai makhluk surgawi. Mengapa? Karena kita sudah sempurna di Surga nanti tidak . Dalam iman Kristiani kita akan menjadi bagian dari Gereja Sempurna di akhir zaman yang akan masuk dalam pernikahan dengan Tuhan Yesus Kristus (Wahyu 19:7).

Jadi pernikahan di bumi ini sebenarnya adalah gambaran pernikahan Tuhan Yesus Kristus dan GerejaNYA (Efesus 5:22-32). Sehingga pernikahan adalah tanggungjawab besar baik bagi suami, yang harus mencerminkan Yesus. Maupun bagi istri, yang harus mencerminkan Gereja yang sempurna. Tentu tidak ada yang sempurna dalam dunia ini, karena itu setiap pernikahan butuh pengikat yang menyempurnakan. Kita butuh belas kasih dari Tuhan Yesus Kristus untuk pernikahan ini.

PARADOKS NATAL: SUKACITA DI TENGAH KETAKUTAN

Lukas 2:10

Siapa yang merasa “sukacita di tengah ketakutan” adalah suatu paradoks? Istilah paradoks yang saya maksudkan adalah situasi yang berlawanan. Misalnya, di masa pandemi ada “paradoks kemanusiaan”, saat ada pihak-pihak “memanfaatkan situasi darurat ini untuk mengambil keuntungan di tengah kepanikan dan derita orang lain, salah satunya dengan menimbun masker untuk mendapat keuntungan finansial.“[1]

Sebenarnya nilai-nilai dalam Alkitab juga banyak mengandung paradoks. Abram percaya di tengah kemustahilan (Kejadian 15:1-6), Paulus bermegah atas kelemahannya (2Korintus 12:9-10), dan satu paradoks yang paling mengherankan adalah paradoks salib, saya pernah sampaikan ini dan jemaat bisa akses di gpdimahanaim-tegal.org/tak-pernah-tertidur/.

Kembali ke bahasan utama kita, sangat bertentangan jika seseorang bisa bersukacita saat ada dalam ketakutan, bukan? Seseorang yang takut biasanya disebabkan oleh hal-hal berikut[2]:

  • Ketidaktaatan. Kejadian 3:10.
  • Penghukuman yang akan datang. Ibrani 11:7.
  • Penganiayaan. Yohanes 20:19.
  • Peristiwa alam. Kisah Para Rasul 27:17, 29.
  • Kecurigaan. Kisah Para Rasul 9:26.
  • Ketidakpastian. 2Korintus 11:3.
  • Kejadian-kejadian akhir. Lukas 21:26.
  • Kematian. Ibrani 2:15.

Dalam konteks Lukas 2:10 ada ketakutan yang dialami gembala-gembala karena mereka adalah orang-orang yang tidak pernah lagi mengalami nubuat (sejak zaman Maleakhi, kira-kira 400 tahun sebelum Natal), apalagi mengalami penampakan ilahi seperti penampakan malaikat-malaikat. Bahkan sebenarnya dalam Perjanjian Lama beberapa penampakan malaikat diikuti rasa takut. Misalnya penampakan malaikat kepada Gideon (Hakim-hakim 6:22) atau kepada orang tua Simson (Hakim-hakim 12:6).

Jika kita memahami tema dan ayat tema yang tadi sudah kita baca di awal maka selain ketakutan ada variabel lain yaitu sukacita. Dalam terjemahan bahasa Indonesia kita membaca “kesukaan besar” dalam ayat tersebut. Tetapi dalam terjemahan bahasa Inggris dituliskan “good news that brings great joy[3].

 Dengan pemahaman dari terjemahan lain ini kita mendapat kesimpulan bahwa sukacita ini berasal dari datangnya kabar baik. Hal ini juga sesuai dengan makna kata dari ayat tersebut dalam bahasa asli Alkitab Perjanjian Baru. Saya sempat menyampaikan mengenai “Natal adalah Allah Menjadi Manusia” yang jemaat bisa juga akses di gpdimahanaim-tegal.org/natal-menjadi-manusia/. Sehingga kita bisa sampai pada pemahaman bahwa kabar baik dari Surga itu adalah Yesus, Sang Firman yang menjadi manusia.

Benar, ketakutan boleh datang dan tidak ada manusia yang bisa memberi klaim “bebas dari rasa takut”. Namun firman Allah tetap ada, meskipun di tengah Ketakutan. Yesaya 40:8. Sebab Allah memberi kita roh bukan untuk menjadi takut. 2Timotius 1:7. Kehadiran Yesus menginisiasi kehadiran Roh Kudus dalam hidup kita. Kalau kita ingat apa yang terjadi pada khotbah Petrus sesudah pencurahan Roh Kudus di Kisah Para Rasul 2:25-28. Ia mengutip miktam (nyanyian Pujian) dari Daud di Mazmur 16:8-11. Ini seharusnya menjadi terang pengharapan kita saat mengingat kehadiran Yesus, Allah yang menjadi manusia.

Seperti ketika Anda berjalan di pergantian waktu, sore menuju malam. Anda tahu kegelapan akan datang, tetapi Anda tidak takut sebab Anda punya terang di tangan Anda. Kita tahu kegelapan akan melanda dunia, tetapi di tengah ketakutan kita bisa bersukacita, karena kita punya kabar baiknya Yesus ada beserta dengan kita! Imanuel, Allah beserta kita!


[1] Memotret Pandemi: Hoaks COVID-19 dan Paradoks Kemanusiaan, Sri Herwindya Baskara Wijaya, Eka Nada Shofa Alkhajar, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, https://rinarxiv.lipi.go.id/lipi/preprint/view/22/36, accessed on December 24th, 2022.

[2] Thomas Nelson Publishers: Nelson’s Quick Reference Topical Bible Index. Nashville, Tenn. : Thomas Nelson Publishers, 1995 (Nelson’s Quick Reference), S. 1, p.225. Libronix.

 

[3] Luke 2:10, New English Translation (NET) Bible.